Sekumpulan uap air itu naik dari permukaan bumi menuju permukaan atmosfer. Berkumpul secara abstrak, namun terkadang membentuk sebuah wujud. Ya, itu adalah proses terjadinya awan. Imajinasi masa kecilku sering menganggap beberapa bentuk awan mirip seperti hewan-hewan yang kutonton melalui layar televisi, atau pesawat terbang bermoncong baling-baling yang dulu sering kunaiki, atau kapal laut dimana aku dapat melihat lumba-lumba muncul di permukaan laut, masuk lagi ke dalam laut, muncul lagi, masuk lagi, dan berulang-ulang kali sampai mereka mengucapkan selamat jalan lalu masuk kembali ke dalam lautan. Meninggalkan tawa masa kecilku disertai mata yang terkejap-kejap dan lambaian tangan ke arah pasukan lumba-lumba yang menghilang di lautan yang luas. Dan tak lupa, awan pernah berbentuk seperti Kera Sakti, idolaku waktu itu. Sungguh aneh, bukan? Tapi semua itu menyenangkan.
Aku selalu menyukai langit dan sahabatnya, sang awan. Dulu aku selalu melihat awan dari atas tanah tempatku berpijak. Entah dari lapangan tempatku bermain bola, dari kelas tempatku menimba ilmu, atau dari atap rumah tempatku berdiam diri. Awan selalu menggambarkan kuasa Tuhan yang menggambarkan keindahan dunia ini dan membuatku selalu bersyukur kepada-Nya atas imajinasi yang telah diberikan oleh-Nya. Dari bawah sini, aku selalu tersenyum ketika menengadah keatas.
Hingga akhirnya aku terduduk diatas kursi penumpang sebuah pesawat. Membayangkan apa yang akan aku lihat dari atas sana. Akankah kecewa yang kudapat? Dan sungguh bodohnya aku ini memikirkan kekecewaan itu. Aku telah berada diatas awan. Jika di bawah sana kulihat matahari terkadang bersembunyi malu dibalik kumpulan awan. Di atas sini dapat kulihat sang mentari dengan gagahnya memancarkan sinarnya dan membuat awan-awan tersebut terlihat lebih indah lagi. Lebih bersih. Dengan beragam bentuk awan, dan yang paling indah adalah awan yang terlihat seperti ombak di lautan luas dihiasi oleh pegunungan, lautan dan pulau-pulau kecil dengan tepian pantai berwarna biru muda. Sungguh pemandangan yang indah. Aku melihat pulau kecil itu seperti sedang melihat langit yang berbentuk air. Ya, warna biru muda yang indah. Kenangan pertama kalinya aku melihat awan dari atas itu sungguh membuatku makin bersyukur atas apa yang telah diciptakan-Nya.
Setelah beberapa kali aku melakukan perjalanan jauh menggunakan pesawat, hingga akhirnya aku mendapatkan pengalaman baru itu. Ketika matahari menyeruak muncul dari tidurnya. Dan ketika sang surya melambai-lambai tanda perpisahan dan tenggelam dihamparan luasnya samudera yang sering kita kenal dengan nama senja. Perpaduan warna yang elok nan menghangatkan jiwa. Lukisan sang Pencipta yang menandakan betapa besar kuasa-Nya. Membuat seulas senyum hangat muncul diiringi harapan dan kebahagiaan.
Saat ini, aku terduduk di kursi penumpang sebuah pesawat. Dari atas sini, senja menemani segala bentuk perasaan dan harapan yang ingin aku raih dan kubawa pulang. Terkadang aku berpikir hanya dengan diam, mengobrol dengan-Nya melalui ciptaan-Nya, aku dapat tenang tanpa membutuhkan orang lain.
Hidupku cukup sederhana, awan pun dapat menjadi alasan seulas senyum itu muncul hanya dengan menatapnya. Makin lama, makin lebar. Makin sering, makin cinta. Ya, cinta terhadap-Nya yang telah mengenalkanku pada salah satu ciptaan-Nya.
Hidupku cukup sederhana, awan pun dapat menjadi alasan seulas senyum itu muncul hanya dengan menatapnya. Makin lama, makin lebar. Makin sering, makin cinta. Ya, cinta terhadap-Nya yang telah mengenalkanku pada salah satu ciptaan-Nya.
Komentar
Posting Komentar